Breaking

5/26/11

Perlindungan Hukum Demi Profesionalisme Guru


Oleh: Syafitriandy Harakie
Haluan Kepri, Jum’at , 27 November 2010
Berbicara tentang masa depan yang lebih baik maka tidak bisa dilepaskan dari sebuah proses kehidupan yakni pendidikan. Pendidikan bagi suatu masyarakat berfungsi sebagai social machine yang bertanggungjawab untuk merekayasa masa depannya. Untuk itu diperlukanlah seorang pendidik yang bertugas membantu mempersiapkan masyarakat dalam hal ini para peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas.
UU Sisdiknas tahun 2003 pasal 3, menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab. Pasal ini memberikan gambaran bahwa fungsi guru dalam sistem pendidikan nasional adalah sebagai pengajar sekaligus sebagai pendidik. Artinya peran guru tidak hanya sebatas menyampaikan pendidikan dalam ranah kognitif atau mentransfer ilmu pengetahuan saja, namun pembentukan kepribadian peserta didik menyangkut aspek afektif (sikap) dan psikomotor (tingkah laku) merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan. Sehingga output yang dihasilkan tidak hanya menciptakan anak didik yang hebat dalam segi intelektual namun keropos dalam mental, sikap dan perilaku.
Dalam proses pendidikan, dikenal dengan apa yang disebut dengan alat pendidikan, yang dipergunakan agar dalam pembentukan kepribadian anak itu dapat berjalan dengan baik. Alat-alat pendidikan yang kita kenal diantaranya adalah contoh dan teladan; ancaman dan ganjaran; perintah dan larangan; serta hukuman. Alat pendidikan berupa hukuman kadang-kadang memang terpaksa harus dilakukan. Didalam ajaran Islam mendidik dengan memukul itu diperbolehkan, jika perilaku anak tersebut sudah kelewatan misalnya suruhan mengerjakan sholat ketika berumur tujuh tahun dan suruhan memukul ketika anak tersebut berusia 10 tahun, dan konsep hukuman dengan pukulan ini bukan untuk mencederai tetapi lebih pada aspek mendidik untuk membangun karakter anak tersebut bahwa ketika perbuatannya sudah melewati batas kewajaran.
Secara historis hukuman fisik seperti menjewer atau menyetrap kerap dilakukan oleh pendidik sejak jaman orde lama sampai orde baru, baik ditingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan atas. Hukuman tersebut dirasakan oleh guru sangat ampuh untuk mendidik peserta didik agar lebih berdisiplin dalam melakukan proses pendidikan. Seiring dengan reformasi, disertai dengan gelombang hak asasi manusia, alat pendidikan berupa hukuman fisik menjadi suatu hukuman yang dianggap melanggar hak asasi manusia peserta didik. Hal ini diperparah dengan banyaknya kasus hukuman mendidik yang diselewengkan menjadi suatu penganiayaan terhadap peserta didik. Hal ini menyebabkan perubahan perspektif masyarakat dan penegak hukum dalam melihat hukuman fisik yang mendidik. Hukuman fisik yang dahulu dianggap sebagai suatu alat pendidikan, lambat laut dilihat sebagai suatu bentuk pelanggaran HAM anak didik. Keadaan ini merupakan pisau bermata dua bagi guru, disatu pihak tanpa hukuman mendidik anak sulit dikendalikan dan cenderung membandel, dilain pihak jika guru menerapkan hukuman mendidik secara fisik dapat menyebabkan guru yang bersangkutan dilaporkan ke pihak kepolisian.
. Secara yuridis, Undang-undang tentang perlindungan Guru telah termuat dalam UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini terlihat jelas pada Bab VII pasal 39 yang menyebutkan bahwa pemerintah, masyarakat, organisasi profesi, dan atau satuan pendidikan wajib memberikan perlindungan terhadap guru dalam pelaksanaan tugas. Hal ini terlihat bahwa eksistensi UU No.14/2005 telah memuat perlindungan terhadap guru atas profesinya. Namun implementasi terhadap undang-undang tersebut masih belum terlaksana. Undang-undang tersebut lebih banyak disoroti sebagai kekuatan hukum atas peningkatan kesejahteraan guru, sementara perlindungan terhadap profesi guru seringkali lepas dari perhatian. Dengan adanya UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan adanya Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sesungguhnya merupakan upaya melindungi anak indonesia dari perlakuan sewenang-wenang dan secara yuridis melarang adanya tindakan kekerasan terhadap anak. Namun eksistensinya seringkali dijadikan alat untuk menjustifikasikan kesalahan anak, khususnya dalam dunia pendidikan. Sebagai seorang pendidik, guru memiliki otoritas akademik dikelas untuk menegakan disiplin agar tercapai tujuan pembelajaran yang dilaksanakan. Disisi lain, seringkali terlupakan alasan hukuman yang dilakukan guru
Kita tidak menutup mata terhadap tindakan oknum guru yang kurang mendidik dengan memberikan hukuman diluar nilai pendidikan. Mereka meletakan peserta didiknya sebagai penjahat yang harus dihabisi, bukan sosok yang perlu dibimbing dan diperbaiki. Hal ini diperparah dengan banyaknya kasus hukuman mendidik yang diselewengkan menjadi suatu penganiayaan terhadap peserta didik. Demikian pula sikap orang tua dan masyarakat yang mulai mengalami pergeseran dalam memandang profesi guru. Mereka terlalu banyak menuntut guru agar dapat mengantarkan peserta didik sebagai masyarakat terdidik, namun tidak seiring dengan penghargaan dan perlindungan yang diberikan. Jika hal ini terjadi maka peran guru hanya sebatas mengajarkan ilmunya saja, memenuhi kebutuhan intelektual anak didik, sementara sikap dan perilaku anak didik menjadi bias.
Pentingnya UU Perlindungan Guru
Agar proses pendidikan menjadi baik dan guru menjalankan tugasnya dengan profesional maka diperlukan peran pemerintah baik pusat maupun daerah serta masyarakat demi mewujudkan guru yang mempunyai martabat dan terlindungi oleh hukum dalam menjalankan profesinya agar tercipta pencapaian kualitas yang maksimal, hal ini sesuai dengan amanah UU Sisdiknas. Maka harus ada regulasi yang mengatur tentang itu, salah satunya dengan membuat UU tentang perlindungan terhadap profesi pendidik yang substansinya adalah; agar guru dalam menjalankan profesinya terlindungi dengan kekuatan hukum dan harus ada pemahaman yang utuh bahwa dalam menjalani proses pendidikan, guru di beri hak otoritas dalam mendidik peserta didik, jika perlu ada fit and proper test untuk menjadi seorang guru, agar dunia pendidikan tidak lagi di sibukan dengan ulah guru yang tidak mengerti esensi dalam mendidik. Jika semua itu dilakukan maka setiap insan akan mampu menempatkan dirinya secara proporsional dan menjalankan tugas dengan profesionalisme.***

No comments:

Powered by Blogger.