BATAM POS, Jum’at 12 Juni 2009
Bagi kita menghadirkan kembali sebuah generasi yang sempat digjaya di pentas sejarah bukanlah merupakan sebuah kemustahilan, namun lebih dari itu merupakan keniscayaan. Sejarah telah membuktikan manusia–manusia tak berperadaban yang tinggal di daerah tandus dan tidak masuk dalam hitungan dua Imperium Besar Parsi dan Romawi pada waktu itu mampu mengubah mozaik sejarah. Tanah arab hanyalah sebuah daerah yang tandus.
Namun disinilah generasi pejuang dan pembebas ini terbentuk. Generasi yang berjuang dengan keyakinan ideologinya dan membebaskan manusia dari belenggu hedonisme dan pragmatisme tentang kehidupan. Generasi ini tak hanya menguasai Jazirah Arab namun sampai kebelahan Eropa, Afrika dan Asia. Apa gerangan? sebuah pertanyaan yang harus disentakkan kedalam jiwa ummat ini, kenapa mereka tiba tiba sampai mampu membalik keadaan, dari orang – orang yang tidak mempunyai peradaban, jahiliyah, namun mampu menaklukan dunia, menjadi sebuah bangsa yang beradab, bahkan peradaban mereka di perhitungkan dalam kancah pertarungan global dan hingga saat ini ajaran – ajaran mereka masih kita nikmati sampai sekarang. Keyakinan kita pun sama menyatakan bahwa inilah ajaran yang baik dan sempurna.
Namun disadari atau tidak kesempurnaan itu masih sebatas tataran teoritis belum masuk dalam ranah praktis kehidupan kita sekarang ini. Bagi kita kerinduan akan hadirnya sebuah Generasi Rabbani, generasi yang selalu dekat dengan Tuhannya, generasi yang tak pernah meninggalkan tuhannya dalam keadaan apapun, generasi yang selalu peduli dengan kejumudan umatnya adalah sebuah kemestian dan keniscayaan. Kepedulian yang tak hanya terpaku pada bibir – bibir manusia intelektual agamis yang habis di meja diskusi, namun harus bersemayam dan terpatri dalam diri mereka entah apapun profesinya, tukang ojek, petani, nelayan,mahasiswa, guru, pegawai dan setiap mereka yang mengaku sebagai manusia muslim. Dengan kepedulian seperti ini akan timbul kesadaran kolektif, sebuah kesadaran yang tak hanya milik mereka yang berstatus da’i atau mubaligh saja, atau mereka yang hanya bekerja dalam institusi keagamaan saja. Namun kepedulian yang membumi pada mereka yang berprofesi diluar itu selagi menyandang sebagai manusia muslim dan mengakui Islam sebagai agamanya.
Untuk membangun kesadaran kolektif ini langkah yang harus kita lakukan adalah merekonstruksi kepribadian manusianya, karena membangun kesadaran tanpa membentuk manusianya adalah sebuah ilusi. Tahapannya adalah; pertama, membangun afiliasi , merupakan langkah awal dimana kita bergabung dan memperbaharui kembali komitmen kepada Islam, menjadikan Islam sebagai basis identitas yang membentuk paradigma, mental dan karakter. Dalam langkah ini kita memperbaharui komitmen kita dalam tiga hal yakni komitmen akidah, yang membuat kita harus memahami satuan ajaran-ajaran Islam sebagai sistem dan tatanan sehingga mampu membaca dan memahami berbagai peristiwa, komitmen ini akan melahirkan cara kita merasa. Kedua, komitmen ibadah, yang mementukan pola dan jalan kehidupan atau cara kita menjalani kehidupan, komitmen ini akan membentuk cara kita berfikir. Ketiga komitmen akhlak yang menentukan pola sikap dan perilaku dalam seluruh aspek kehidupan kita, komitmen ini kita sebut dengan tahapan iman dan amal soleh. Satuan-satuan kebenaran yang kita pahami dan yakini di laksanakan dalam kehidupan sehari – hari, hal ini akan membentuk cara kita bersikap. Dalam tahapan afiliasi ini terbentuk pribadi shaleh secara individu. Kedua; partisipasi, dimana kita sebagai manusia muslim telah mencapai kesempurnaan pribadi dan larut dalam lingkaran kekhusyukan iman dan amal sholeh, maka kita harus melebur kedalam masyarakat, menyatu, dan bersinergi dengan mereka, guna mendistribusikan keshalehan kita. dalam tahapan ini akan terbentuk kesalehan secara sosial. Ketiga; Kontribusi, kita tidak dapat menjadi segalanya dan tidak akan pernah sanggup melakukan segalanya, kemampuan kita terbatas maka dalam tahapan kontribusi ini adalah kita harus memilih salah satu bidang spesialisasi kita dan menajamkan posisi tersebut serta menyumbangkanya kepada islam dan ummatnya setulus tulusnya. Dalam tahapan ini akan terbentuk komunitas masyarakat yang shaleh secara sosial dan profesional.
Dengan melakukan ketiga tahapan tersebut, kita akan menggabungkan tiga kekuatan sekaligus, yakni kekuatan pribadi, kekuatan sosial, dan kekuatan profesional. Kita menjadi kuat secara pribadi karena memilki paradigma kehidupan yang benar dan jelas, struktur mentalitas yang solid dan kuat. Kita menjadi kuat secara sosial karena memiliki kesadaran partisipasi yang kuat, aset kebajikan yang terintegrasi dengan komunitasnya. Dan kita menjadi kuat secara profesi karena bekerja pada bidang yang menjadi kompetensi intinya. Hal ini menyebabkan ia selalu berorientasi pada amal, karya dan prestasi serta secara konsisten melakukan perbaikan dan pertumbuhan yang berkesinambungan.
Setiap kejadian akan selalu berulang dalam kehidupan kita, hanya ruang dan waktu yang berbeda. Rasulullah SAW telah melakukan apa yang semestinya harus dilakukan dalam membentuk generasi Rabbani, tinggal kita untuk memulai apakah kita yang akan mengulang sejarah tersebut atau kita tak terdaftar dalam orang –orang yang ada dalam mozaik sejarah peradaban Islam. Rasulullah telah melakukan rekonstruksi kepribadian- kepribadian yang sahabat yang awalnya mereka adalah manusia-manusia yang hidup dalam lingkungan kejahiliyahan. Namun mampu mengukir sebuah mozaik sejarah yang tak terbantahkan. Orang gurun yang awalnya memiliki temperamen yang berbeda-beda serta latar belakang sosial yang berbeda pula namun satu persepsi dalam membumikan ajaran Islam ini sehingga timbul sebuah kesadaran kolektif dalam menjaga eksistensi agama ini dimuka bumi dengan terus mencetak generasi Rabbani, generasi yang selalu peduli dengan tuhan dan agamanya bukan hanya dalam tataran teoritis namun praktis. Kita telah memiliki warisan abadi berupa Standart Operating Procedure (SOP) yakni Al Quran dan perangkat turunannya yang telah dipraktikan oleh para aktor, terbukti mampu membuat pentas sejarah ini dipenuhi manusia – manusia besar yang senantiasa berfikir dan berjiwa besar. Tinggal bagaimana kita menterjemahkan dalam ranah empiris agar Islam tetap terjaga eksistensinya secara kualitas dan kuantitas tentunya atau kebesaran agama ini hanya sekedar cerita masa lalu yang di jadikan bahan bacaan atau pelajaran sekedar pelengkap hidup.***
No comments:
Post a Comment